DERU TANGIS DARI RAKHINE:

Tak sepenuhnya konflik yang terjadi di Rakhine, Myanmar ini atas dasar agama, namun ada hal lain yang melatar belakanginya. Bhakan konflik ini telah terjadi sejak lama dan berlarut-larut sampai saat ini.



Sekitar abad ke-15 disuatu tempat bernama Arakan berdiri sebuah Kerajaan yang dipimpin oleh seorang Raja bernama Narameikhla. Wilayah kerajaan di Arakan ini yang kemudian menjadi cikal-bakal kelompok etnis Rohingya. Sebelum terkena syiar Islam Kerajaan Arakan yang dipimpin oleh Narameikhla diserang oleh pasukan Ava yang berasal dari ibukota Kerajaan Burma saat itu. Spirit perluasaan kekuasaan Kerajaan Burma berhasil menguasai wilayah Arakan dan ini mengakibatkan terjadinya exodus besar-besaran rakyat Arakan beserta Raja Narameikhla ke Bengali (Bangladesh). Di tanah Bengali imigran Arakan diterima dengan baik, bahkan Raja Narameikhla sempat belajar banyak tentang ilmu pengetahuan dan agama Islam.
Duapuluh empat tahun berselang, imigran dari Arakan di Bengali menginginkan wilayah Arakan kembali. Raja Narameikhla lantas mendapatkan bantuan dari Sultan Bengali untuk merebut tanah leluhur dari Kerajaan Arakan. Dekolonisasi kelompok Rohingya di Arakan berhasil kembali direbut hingga Kerajaan Arakan berdiri dengan mayoritas sudah beragama Islam. Masjid kemudian dibangun, pengadilan yang merupakan hasil perpaduan Budaya Budha Myanmar dan ajaran Islam dilaksanakan, begitulah Arakan setelah tahun 1428.
Wilayah Arakan yang kemudian dikuasai kembali oleh etnis Rohingya pada abad ke-15. Kemudian kembali bergejolak pada abad ke-18, Raja Burma dari Dinasti Konbaung mengerahkan tentaranya untuk menguasai kembali wilayah Araka, ribuan orang tewas dan ditawan. Sekitar 20.000 tawanan perang termasuk simpatisan muslim, para seniman dan ilmuwan berjalan menuju pusat wilayah Kerajaan Burma dengan melintasi bukit Arakan. Ratusan diantaranya tewas selama perjalanan menurut G.E Harvey, sejarawan Inggris.
Pemerintahan Arakan jatuh! Maka darisinilah dimulai perseteruan antara Burma dan etnis di Arakan (terutama para penganut agama Islam) yang berlarut-larut sampai dewasa ini. Kecemburuan etnis Burma kepada Arakan diperparah dengan sikap yang dilakukan oleh Inggris ketika berhasil menguasai Burma dan Arakan pasca Perang Anglo-Burma pada tahun 1823. Pemerintahan Inggris mendatangkan orang-orang muslim dari Bengali dan Arakan untuk dijadikan tenaga kerja di lahan-lahan pertanian dan pembangunan infrastruktur pada pasa pemerintahan kolonial Inggris.
Setelah pemerintah Inggris keluar dari Burma, Burma dikuasi Jepang pada tahun 1942. Invasi Jepang ke Burma dilaksanakan sambal memprovokasi penganut agama Budha di Burma dan Arakan. Maka terjadilah kerusuhan sosial yang mengorbankan ratusan ribu orang-orang muslim dan ribuan lainnya lari ke Bengali. Di bawah kekuasaaan Jepang, umat Budha menjadi mayoritas di Arakan. Kerusuhan ini membagi wilayah Arakan menjadi dua bagian: selatan dihuni penganut Budha, utara dihuni orang-orang Muslim Rohingnya.
Inggris, yang terdesak ke Arakan utara, menjalin hubungan dengan orang-orang Rohingya. Ketika Inggris menyusun rencana perang gerilya dengan sandi “V Force” pada April 1943, dengan tujuan merebut kembali wilayah-wilayah yang dikuasai Jepang, orang-orang Rohingya ikut dilatih sebagai calon tentara. Tentara Arakan yang tergabung dalam “V Force” berperan penting dalam upaya Inggris merebut kembali Arakan pada 1945. Merasa andil dalam memenangkan Inggris, orang-orang Rohingya menuntut imbalan berupa kemerdekaan di sebuah wilayah bernama Maungdaw di Arakan. Permintaan ini dikabulkan. Para pengungsi Rohingya, yang terusir ke Bengali dalam kerusuhan tahun 1942, akhirnya kembali ke kampungnya. Untuk mengamankan kekuasaan, mereka tak memberikan jabatan-jabatan strategis kepada orang-orang Budha; suatu keadaan yang memperdalam sentimen kebencian.
Sebagai hasil dari Konferensi London, kekuasaan Inggris akhirnya diserahkan kepada Burma pada 4 Januari 1948. Tanggal ini kemudian dijadikan hari kemerdekaan Burma.
Sayangnya, pasca kemerdekaan, keberadaan orang-orang Rohingya justru tak diakui. Dalam draf konstitusi Burma yang baru disusun, mereka tak dimasukkan dalam kategori kelompok minoritas. Konsekuensinya, mereka tak berhak mendapatkan hak-hak minoritas seperti kuota di parlemen dan perlindungan hukum.
Perlakuan ini memicu kembali perlawanan orang-orang Rohingya. Banyak di antara mereka bergabung dalam gerakan Mujahidin yang dipimpin Jafar Kawal. Gerakan ini ditandingi Burma Teritorial Force (BTF) yang dibentuk Jenderal Ne Win. Ribuan Muslim dan rumah mereka dimusnahkan pasukan Jenderal Ne Win.

Salah satu keberhasilan gerakan Mujahidin adalah memaksa pemerintah Burma memberikan distrik otonom yang terdiri dari Maungdaw, Rathedaung, dan Buthidaung pada 1950. Wilayah ini nantinya dikenal sebagai Mayu Frontier. 


Share on Google Plus

About Sarip Hidayatuloh

0 komentar:

Posting Komentar