TRADISI SEX SUKU MOSUO
DI CHINA
Oleh: Sarip Hidayatuloh
Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas galuh
Suatu malam, seorang pemuda paruh
baya sekitar usia di atas 13 tahunan datang dan masuk ke sebuah rumah
tradisional yang terbuat dari kayu. Sesampainya dirumah tersebut, kemudian ia
masuk kedalam sebuah kamar yang didalamnya terdapat seorang gadis. Bhakan
mungkin pemuda ini tak hanya malam ini saja masuk ke dalam rumah tradisional
tersebut, melainkan malam-malam sebelumnya juga sudah pernah masuk bahkan
sering, bahkan bisa saja tak hanya ke rumah tersebut melainkan ke rumah
gadis-gadis lainnya yang ada di desa tersebut.
Namun sang gadis tidak takut sama
sekali dengan kehadiran pria tersebut, bahkan orang-orang yang ada di rumah tersebutpun
tak menghiraukan kedatangan pria itu dan tak ada rasa curiga ataupun rasa takut
sedikitpun. Sesampainya di kamar, sang gadis justru menyambut baik kedatangan
pria itu. Dipandu gejolak syahwat yang menggebu merekapun bersenggama. Esok
paginya sebelum matahari terbit, sang pria bergegas pergi dari rumah tersebut.
Tabiat tersebut tak Cuma di lakukan
malam itu saja. Hampir setiap malam ia pindah-pindah rumah, gonta-ganti
pasangan. Bahkan sang gadispun bukan hanya sekali menyambut pria itu, dan
bahkan bukan hanya dia saja yang di sambutnya setiap malam, tapi masih banyak
pria lain yang datang ke kamarnya untuk bersenggama dengannya.
Di desa mereka, sex bebas itu disebut
“axia” alias “walking marriage” alias “perkawinan berjalan” (tirto.id, 14/05).
Disana, warganya memang tak mengenal
pernikahan seperti yang dikenal dunia luar, tak ada ijab kabul, tak ada
tunangan, tak ada ikatan suami istri. Disana pria dan wanita tak mesti menikah
jika ingin melakukan sex. Pernikahan dinggap terlalu mengikat dan pelik. Semua
itu adalah buah dari budaya matriarkat, sistem sosial dengan ibu sebagai kepala
dan penguasa seluruh keluarga yang mereka anut. Dalam budaya mereka perempuan
dianggap sebagai superior, sehingga tak ada stigma buruk mengenai perempuan,
disana perempuan memiliki kasta yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
Suku itu bernama Mosuo. Mereka
tinggal di provinisi Yunan, dan Sichuan, Cina. Tepatnya di pinggiran Danau
Lugu. Dikawasan Yonging, Yanyuan. Dekat tepi gunung Himalaya dan berbatasan
langsung dengan Tibet.
Di dalam budaya Mosuo, wanita sebagai
kepala keluarga, wnita yang mengerjakan segala sesuatu, dari mulai mengurus
rumah hingga bekerja mencari uang, sementara anak mereka di urus oleh seorang
perempuan yang dianggap paling tua didalam keluarga yang di pandang sebagai
kepala keluarga.
Laki-laki di suku Mosuo cenderung tak
punya peran dalam struktur keluarga, selain memancing, beternak dan menyiapkan
upacara kematian. Selebihnya itu urusan wanita. Laki-laki di suku Mosuo
cenderung hanya di siapkan untuk rutinitas malam hari saja, sebagai uapaya
menyalurkan syahwat belaka.
0 komentar:
Posting Komentar