Melihat Akar Konflik di Rohingya
Duapuluh empat
tahun berselang, imigran dari Arakan di Bengali menginginkan wilayah Arakan
kembali. Raja Narameikhla lantas mendapatkan bantuan dari Sultan Bengali untuk
merebut tanah leluhur dari Kerajaan Arakan. Dekolonisasi
kelompok Rohingya di Arakan berhasil kembali direbut hingga Kerajaan Arakan
berdiri dengan mayoritas sudah beragama Islam. Masjid kemudian dibangun,
pengadilan yang merupakan hasil perpaduan Budaya Budha Myanmar dan ajaran Islam
dilaksanakan, begitulah Arakan setelah tahun 1428.
Wilayah Arakan
yang kemudian dikuasai kembali oleh etnis Rohingya pada abad ke-15. Kemudian
kembali bergejolak pada abad ke-18, Raja Burma dari Dinasti Konbaung
mengerahkan tentaranya untuk menguasai kembali wilayah Araka, ribuan orang
tewas dan ditawan. Sekitar 20.000 tawanan perang termasuk simpatisan muslim,
para seniman dan ilmuwan berjalan menuju pusat wilayah Kerajaan Burma dengan
melintasi bukit Arakan. Ratusan diantaranya tewas selama perjalanan menurut G.E
Harvey, sejarawan Inggris.
Pemerintahan
Arakan jatuh! Maka darisinilah dimulai perseteruan antara Burma dan etnis di
Arakan (terutama para penganut agama Islam) yang berlarut-larut sampai dewasa
ini. Kecemburuan etnis Burma kepada Arakan diperparah dengan sikap yang
dilakukan oleh Inggris ketika berhasil menguasai Burma dan Arakan pasca Perang
Anglo-Burma pada tahun 1823. Pemerintahan Inggris mendatangkan orang-orang
muslim dari Bengali dan Arakan untuk dijadikan tenaga kerja di lahan-lahan
pertanian dan pembangunan infrastruktur pada pasa pemerintahan kolonial
Inggris.
Setelah
pemerintah Inggris keluar dari Burma, Burma dikuasi Jepang pada tahun 1942.
Invasi Jepang ke Burma dilaksanakan sambal memprovokasi penganut agama Budha di
Burma dan Arakan. Maka terjadilah kerusuhan sosial yang mengorbankan ratusan
ribu orang-orang muslim dan ribuan lainnya lari ke Bengali. Di bawah kekuasaaan
Jepang, umat Budha menjadi mayoritas di Arakan. Kerusuhan ini membagi wilayah
Arakan menjadi dua bagian: selatan dihuni penganut Budha, utara dihuni
orang-orang Muslim Rohingnya.
Inggris, yang
terdesak ke Arakan utara, menjalin hubungan dengan orang-orang Rohingya. Ketika
Inggris menyusun rencana perang gerilya dengan sandi “V Force” pada April 1943,
dengan tujuan merebut kembali wilayah-wilayah yang dikuasai Jepang, orang-orang
Rohingya ikut dilatih sebagai calon tentara. Tentara Arakan yang tergabung
dalam “V Force” berperan penting dalam upaya Inggris merebut kembali Arakan
pada 1945. Merasa andil dalam memenangkan Inggris, orang-orang Rohingya
menuntut imbalan berupa kemerdekaan di sebuah wilayah bernama Maungdaw di
Arakan. Permintaan ini dikabulkan. Para pengungsi Rohingya, yang terusir ke
Bengali dalam kerusuhan tahun 1942, akhirnya kembali ke kampungnya. Untuk
mengamankan kekuasaan, mereka tak memberikan jabatan-jabatan strategis kepada
orang-orang Budha; suatu keadaan yang memperdalam sentimen kebencian.
Sebagai hasil
dari Konferensi London, kekuasaan Inggris akhirnya diserahkan kepada Burma pada
4 Januari 1948. Tanggal ini kemudian dijadikan hari kemerdekaan Burma.
Sayangnya, pasca
kemerdekaan, keberadaan orang-orang Rohingya justru tak diakui. Dalam draf
konstitusi Burma yang baru disusun, mereka tak dimasukkan dalam kategori
kelompok minoritas. Konsekuensinya, mereka tak berhak mendapatkan hak-hak
minoritas seperti kuota di parlemen dan perlindungan hukum.
Perlakuan ini
memicu kembali perlawanan orang-orang Rohingya. Banyak di antara mereka bergabung
dalam gerakan Mujahidin yang dipimpin Jafar Kawal. Gerakan ini ditandingi Burma
Teritorial Force (BTF) yang dibentuk Jenderal Ne Win. Ribuan Muslim dan rumah
mereka dimusnahkan pasukan Jenderal Ne Win.
Salah satu
keberhasilan gerakan Mujahidin adalah memaksa pemerintah Burma memberikan
distrik otonom yang terdiri dari Maungdaw, Rathedaung, dan Buthidaung pada
1950. Wilayah ini nantinya dikenal sebagai Mayu Frontier.
0 komentar:
Posting Komentar