Apa yang Dilakukan Chairil Anwar Setibanya di Batavia?
Kita mengenal Chairil sebagai pujangga yang berkepribadian kusut dan tak pernah punya pilihan hidup. Apakah benar demikian?
Potret Chairil Anwar, mungkin pada
awal 1949. Kendati hanya menumpang hidup di Jakarta selama tujuh tahun,
sosoknya telah menginspirasi dan memelopori munculnya gaya sastra baru di
Indonesia. (Wikimedia Commons)
Apa yang pertama kali dilakukan Chairil
saat tiba di Batavia?” tanya Hasan Aspahani yang memantik diskusi pada sebuah
acara bincang sore. Peserta diskusi pun duduk termangu menanti jawabnya.
Semesta hening untuk beberapa saat.
Hasan sudah dikenal sebagai jurnalis dan
penyair kawakan. Sejumlah buku puisinya telah terbit, dan beberapa sajaknya
digubah dan direkam oleh Ananda Sukarlan. Namun, belakangan namanya melejit
kembali dalam serangkaian diskusi pustaka dan sastra sejak buku biografi Chairil
yang disusunnya terbit pada akhir tahun silam.
Chairil mulai merantau dari Medan ke
Batavia pada akhir 1941, seperti yang dituturkan Hasan dalam bincang sore itu.
Saat itu usia Chairil sudah 19 tahun. Dia melanjutkan sekolah ke MULO di
kawasan Pasar Baru. "Dia tidak tamat," kata Hasan, "tetapi dia
bisa berbahasa Belanda, berbahasa Inggris, dan Prancis."
Kita mungkin selama ini membayangkan
Chairil sebagai seorang pemuda yang tak punya pilihan. Bayangan itu tampaknya
salah. Chairil adalah pemuda yang memiliki banyak pilihan. Ayahnya, yang
bernama Toeloes bin Haji Manan, menjabat sebagai Controleur—setingkat
bupati pada zaman sekarang. Dia mengemban tugas sebagai inspektur penghubung
pemerintah Hindia Belanda dengan para penguasa lokal. "Orang yang senyaman
itu hidupnya, pendidikannya apa saja bisa," Hasan menambahkan,
"tetapi memilih menjadi penyair dengan segala risiko."
Sebagai seorang anak lelaki satu-satunya,
Chairil sejatinya punya banyak jalan hidup. Apalagi pada zaman itu, orang-orang
Sumatra banyak yang melanjutkan pendidikan ke Belanda, termasuk Sutan
Sjahrir—pamannya sendiri.
“Tapi, nasibnya...,” ujar Hasan. “Jepang
masuk pada awal 1942.” Sejak saat itu komunikasi Jawa dan Sumatra putus. Perkara
surat-menyurat hingga urusan kiriman uang pun ikut pupus. Seluruh pelajar
Sumatra yang berada di Jawa dipulangkan oleh Jepang dengan angkutan dua kapal
besar. Asrul Sani dan Sitor Situmorang, kelak keduanya sohor sebagai sastrawan,
turut pulang. Namun, Chairil tidak pulang.
“Kenapa Chairil tidak pulang?” Hasan
melontarkan pertanyaan retorika. Lalu, dia melanjutkan berkata, “Sepertinya itu
naluri, ya.”
Tampaknya semesta telah menelikungnya. Dia
ditakdirkan memang harus hidup di Batavia. Dia ditakdirkan menyintas suatu
kehidupan yang tidak nyaman. Dia ditakdirkan menerima risiko bahwa tidak ada
lagi uang kiriman dari ayahnya. Dan, dia juga ditakdirkan tak berumur
panjang. Lengkaplah segala penderitaan Chairil.
“Chairil sejatinya seorang yang perlente,”
ungkap Hasan. Bukan seorang yang berkepribadian kuyu dan kusut. Pada akhirnya,
dia terpaksa kuyu dan kusut lantaran sang ayah tidak bisa mengirimkan uang
kepadanya. “Akhirnya dia menjadi bohemian,” imbuhnya. “Mencuri sepeda,
jaket, sprei, ditangkap kempetai, dipukulin, dimasukin penjara, lalu ke luar
lagi—tetap saja begitu.”
Lalu, apa yang pertama kali dilakukan
pemuda itu setibanya di Batavia, jelang Hindia Belanda tamat?
“Bikin jas!”
Hasan menambahkan, betapa hebatnya Chairil
karena memesan jas di Pendjahit Djumala, salah satu penjahit tersohor di
Batavia yang juga membuat jas pesanan Sukarno. Boleh dikata, dalam perkara
busana, Charil memang seorang anak sekolah yang flamboyan. Kawan semasanya
mengenangnya sebagai seorang pemuda yang kerap mentraktir dan mengencani
gadis-gadis papan atas sembari nonton film atau menyaksikan pentas sandiwara
kota.
“Hobinya memang pesta,” imbuh Hasan.
“Itulah Chairil.”
Sumber : http://nationalgeographic.co.id/berita/2017
0 komentar:
Posting Komentar